Sabtu, 13 Februari 2010

Ulama Salaf dalam Menyikapi Kesalahan Sendiri

Dari Aqil dan Ma’mar, dari az-Zuhri diriwayatkan bahwa ia menceritakan:

“Urwar telah menceritakan kepada kami, bahwa al-Mizwar bin Makhramah pernah mengabarkan kepadanya bahwa ia pernah diutus untuk menemui Muawiyah. Seusai menunaikan tugasnya, Mu’awiyah mengajaknya bicara empat mata.

Muawiyah berkata,
‘Wahai Mizwar, tuduhan apa yang kau lontarkan kepada para pemimpin?’

Miswar mengelak,
‘Sudah jangan kita bicarakan hal itu, kita bicarakan yang baik-baik saja’

Kemudian Mu’awiyah berujar,
‘Tidak, demi Alloh, kamu harus berbicara kepada saya dengan tuduhan dan yang engkau lontarkan kepada saya (selaku pemimpin).’

Kemudian Mizwar menuturkan, ‘setiap cacian yang kulakukan, semuanya kupaparkan di hadapan beliau (Muawiyah)’.

Maka beliau pun menaggapi, ‘Aku tidak akan berlepas diri dari dosa-dosa. Tapi sudikan engkau menambahkan dengan menyebut perbaikan yang kami lakukan ditengah masyarakat? Sesunggunhnya kebaikan itu dihitung sepuluh kali lipat. Apakah engkau menghitung dosa-dosa kami dan meninggalkan kebaikan-kebaikan kami? Kamu hanya menyebut dosa-dosa kami saja. Kami mengakui dosa-dosa yang kami lakukan. Dan kamu sendiri bagaimana, apakah kamu juga memiliki dosa-dosa pribadi yang kamu khawatir akan membinasakan dirimu seandainya tidak diampuni Alloh?’

Mizwar menjawab, ‘iya’

Muawiyah melanjutkan, ‘Tidaklah Alloh menjadikan dirimu lebih berhak untuk mengharapkan ampunan daripada diriku. Demi Alloh, perbaikan yang aku lakukan untuk umat lebih banyak daripada yang engkau lakukan. Akan tetapi demi Alloh, setiap kali ada pilihan apakah aku memilih Alloh atau selainNya, aku pasti memilih Alloh. Dan aku berada didalam agama, dimana setiap amal kebajikan ada pahalanya dan setiap amal ibadah (asal cukup syarat) dapat diterima, demikian juga segala dosa akan mendapat ganjarannya, kecuali bila Alloh mengampuninya.’

Mizwar berkata, ‘setelah itu, beliau terus menghujatku’.”

Urwah menceritakan, setelah kejadian tersebut, “Setiap kali Mizwar menyebut nama Mu’awiyah, ia langsung membacakan doa untuknya”

………………………………

Dari Yunus bin Abdul A’la diriwayatkan bahwa ia menceritakan , Asy-Syafi’i pernah berkata kepadaku, “Wahai Yunus, apabila engkau mendengar kabar yang tidak mengenakkan dari seorang teman, janganlah lantas terburu memusuhinya dan memutus hubungan tali kasih. Karena, dengan demikian engkau termasuk orang yang menghilangkan keyakinan dengan keraguan. Tetapi yang benar, temuilah dia, dan katakana kepadanya, ‘Aku mendengar engkau begini dan begini.’ Ingat, jangan sebut secara mendetail. Apabila ia mengelak, katakana kepadanya, ‘Engkau lebih benar dan lebih baik dari yang kudengar.’ Dan jangan perpanjang lagi urusannya. Tapi kalau ia mengakuinya, dan kamu melihat ada yang bisa dijadikan alas an baginya dalam hal itu, terimalah alasan itu. Namun, apabila engkau juga tidak mendapatkan alasan apapun baginya, sementara amat sulit jalan jalan untuk mendapatkannya, engkau bisa tetapkan bahwa ia melakukan kesalahan. Setelah itu, engkau boleh memillih; kalau engkau mau, engkau bisa membalas dengan yang setara degan perbuatannya tanpa menambah-nambah, dan kalau engkau mau, engkau bisa memaafkannya. Dan memaafkannya berarti lebih dekat dari ketakwaan dan lebih menunjukkan kemuliaanmu sebagaimana firman Alloh,

‘Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Alloh.’
(Asy-Syura : 40)

Kalau dengan balasan setimpal engkau masih mendapat tantangan dari dirimu sendiri, pikirkanlah kembali kebaikan-kebaikannya di masa lampau, hitung semuanya, lalu balaslah kejahatannya yang sekarang dengan kebaikan. Janganlah karena kejahatannya, engkau melupakan kebaikannya yang terdahulu. Karena yang demikian itu adalah kezhaliman yang sesungguhnya, wahai Yunus. Apabila engkau memiliki teman, gandenglah dengan tanganmu erat-erat, karena mencari teman itu susah, dan berpisah dengannya itu perkara mudah.”



Aina Nahmu Min Akhaq as-Salaf
Penulis: Abdul Aziz bin Nashir al-Jail dan Baha’iddin bin Fatih Uqail
Edisi Indonesia: BELAJAR ETIKA DARI GENERASI SALAF
Penerjemah: Abu Humaira
Murajaah: Ahmad Amin Sjihab, Lc.
Penerbit DARUL HAQ Jakarta


Tidak ada komentar:

Posting Komentar